Halaman

Kamu terlambat. Otak dan hatiku sudah tidak memiliki kamu lagi di dalamnya. Jangan salahkan waktu, salahkan kamu yang bermain-main dengan waktu.

1 : 1


Kamu, yang nanti akan menjatuhkan hatimu ke dalam aku, sebelumnya bolehkah aku bertanya? Tidakkah kamu keberatan jika kelak aku hanya mencintaimu sebesar cinta yang kamu berikan kepadaku, dan tidak lebih? Pendeknya, jika kadar itu bisa diukur secara kuantitatif, kamu memberiku tujuh, aku akan mengembalikan tujuh. Tidak tujuh koma lima, apalagi delapan. Jika kamu sama sekali tidak keberatan, silahkan mencoba masuk.

Kamu mungkin akan bertanya-tanya mengapa aku berpikiran seperti itu. Alasanku sederhana saja, sayang. Aku ingin menjaga rasa cintaku tetap pada wadah yang pas, tidak meluap-luap. Segala sesuatu yang meluap-luap itu akan terbuang percuma, kan? Yang meluap-luap juga akan menimbulkan banyak kekecewaan nantinya. Toh, kita sudah akan bahagia dengan rasa cinta yang sesuai dengan kadarnya.

Jangan salah mengerti, aku bukannya setengah-setengah dalam mencintai kamu. Tetapi bukan hanya kamu saja yang akan aku cinta, hatiku juga tak kalah penting untuk aku cinta dan aku jaga perasaannya. Aku hanya berjaga-jaga, jika kelak kamu melukai aku (meski semoga itu tak kan pernah terjadi), luka itu akan lebih cepat mengering. Kepingan-kepingan yang berantakan itu akan lebih mudah dirapikan.




Bukan Peluk Terakhir


***

Seseorang memelukku dari belakang. Itu kamu.

“Banyu…” nafasmu menghangatkan tengkukku.

“Hmm..”

“I love you, sayang..” kini giliran bibirmu yang memeluk bibirku.

Sederhana, tapi kamu selalu berhasil membuat logikaku kehilangan kemudinya. Bersama kamu, aku menjadi seperti penderita amnesia. Seluruh organ tubuhku hanya mampu mengenali satu kata; kamu. Begitulah kira-kira, Arinta!


***

“Kamu udah ketemu Reinard?”

“Udah. Kenapa?”  Aku sudah tau kemana arah pembicaraanmu. Aku hanya tidak berani menduga-duga apa yang akan kamu katakan.

“Do we need to talk, honey?” Kamu, selalu menggunakan kata ‘honey’ setiap kali meminta perhatian lebih dariku, seperti sekarang.

“Maybe”  Akhirnya kutatap matamu. Ada banyak kegelisahan tergambar jelas di dalamnya. Mungkin sama dengan yang kurasakan—yang dengan sebisa mungkin berusaha kututupi.

“You already knew what happened , right? still pretending to be cool? Pretending like nothing happened, huh? Kepalaku mau pecah,  Banyu!”.

Kamu benar, aku tahu apa yang sedang terjadi. Kamu salah kalau mengiraku berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi. Aku hanya belum tahu harus berkata apa, Arinta!

Reinard baru saja pulang dari Colorado setelah dua setengah tahun pendidikan Master yang diambilnya selesai. Selama itu, akulah yang selalu ada untuk kamu, menemani kamu, menjaga kamu. Hingga akhirnya, sesuatu yang tidak kita harapkan tumbuh di hati kita. Kita saling mencinta, saling ingin memiliki satu sama lain, saling takut kehilangan. Kita selama ini sangat bahagia, kan?

Apalagi? Kamu ingin mengatakan Reinard memintamu untuk segera menikah dengannya karena dia sudah diterima di sebuah perusahaan ternama di Colorado, dan ingin membangun keluarga kecil kalian di sana. Dan kamu, sekarang sedang bingung antara memilih aku atau meninggalkan aku? Aku sudah tahu!

Yang aku belum tahu adalah apa yang akan kamu putuskan. Kamu tahu? Setengah bagian dari aku menginginkan kamu tetap di sini dan memilih hidup bersamaku. Setengah bagian lagi, aku tak ingin menyakiti Reinard. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Reinard tahu, dua orang yang sangat dia percaya—kekasih dan adiknya sendiri—bahu membahu menikamnya dari belakang.

“Kepalamu baru mau pecah, kan? Kepalaku udah pecah, bahkan!” Aku tidak pernah sedingin ini kepadamu, ya?  Maaf, aku bukan bermaksud untuk menyalahkan kamu. Aku juga benar-benar bingung, Arin!

Menangis saja! Kamu tidak kuat lagi menahan air matamu yang sedari tadi sudah meronta-ronta, kan?

“What should we do? Do I have a choice?” kamu menangis.

“Aku sayang kamu. I want you, not Reinard. Kamu tahu itu kan, Banyu!” kamu semakin terisak.

“Kamu juga tahu kan, aku sayang kamu. Banget!”

“Kamu pasti juga udah tahu apa yang bakal aku bilang. Yes, we have no choices besides marry him, you!”

Tangismu semakin keras, seolah kamu tidak mau mendengar apa yang sudah kukatakan dengan susah payah.

“Listen, Arinta. Kamu pernah cinta banget sama mas Reinard. Aku yakin, kamu bisa nemuin kembali ruang buat dia di hati kamu. Inget, dulu kamu pernah bilang bahwa hanya wanita bodoh yang bisa menolak Reinard, kan? Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Reinard pasti bisa bikin kamu jauh lebih bahagia dari sekarang.”

“Gimana dengan kamu?” wajahmu terlihat sangat lelah, tapi tidak menutupi kecantikanmu.

“Kamu sayang sama aku, kan?”

Kamu menggangguk.

“Kalau gitu, menikah dengan mas Reinard” aku tesenyum.

Betapa aku mengeluarkan 90% energiku untuk mengatakan itu semua. Betapa aku tak ingin kamu tahu, hatiku tercabik dengan kata-kata yang aku keluarkan sendiri
Aku memeluk tubuhmu seerat mungkin, mencium wangi tubuhmu selama mungkin seolah ini kali terakhir kita bertemu.

***

Aku memeluk kamu dan Reinard bergantian sesaat setelah kalian turun dari pesawat. Mama memaksa kalian kembali ke Jakarta. Alasannya, mama ingin melihat cucunya setiap hari. Maklum, Chloe—anak Reinard— adalah cucu pertama dalam keluarga kami.

Kita bertemu lagi. Setelah tiga tahun? Kamu masih tetap cantik. Ada yang bergejolak keras di balik tulang rusukku, sama seperti dulu. Dan pelukan kilat barusan, masih sehangat dan senyaman dulu.

Buukk! Reinard meninju lenganku. “Monyet lo, udah bawa cewek cantik masih aja peluk-peluk istri orang! Hahaha..”

Kami tertawa, kulirik Arinta tersenyum padaku penuh arti—yang hanya kita berdua yang tahu.

“Oh ya, kenalin ini Mira. Calon istri gue..”

***

Apa yang mereka sebut cinta itu, kerap kali menjadi pembenaran atas kesalahan-kesalahan yang Tuhan benci. Cinta yang datangnya dari Tuhan, seharusnya tidak melukai Tuhan.